laman

Rabu, 01 Desember 2010

cerpenQ ne......^^

Awal hidupku, di akhir hayat ibuku



Terdengar irama nyaring penuh ketegasan dari sebuah palu kayu di atas meja yang dibunyikan tiga kali oleh sesosok penuh kewibawaan dalam ruangan luas, dan megah kala itu. Bukan sebuah meja hijau atau kursi panas yang jelas. Di ruangan ini bukan suasana tegang penuh pengharapan untuk mendapat ampunan. Namun di ruangan ini penuuh kebanggan dan rasa haru bercampur gembira yang tak terkira bagi para bapak dan ibu, ayah dan bunda, papa dan mama, bahkan abah dan umi. Inilah akhir dari perjuangan hidup seorang anak manusia dalam mencari ilmu, namun ini awal dari suatu fase hidup untuk memenuhi kebanggaan keluarga dan orang tua.

Kala itu Rektor Universitas Airlangga, Surabaya menyatakan bahwa Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma akademik 2003 – 2004 resmi menjadi calon penerus bangsa di masa depan. “alhamdulilah, semua yang terbaik untukmu. Trimakasih pernah menjadi kebanggaan bapak dan ibu.”, begitulah kata pertama yang sempat aku dengar dari mulut seorang malaikat hidupku yang selalu mendukung setiap langkahku untuk lebih maju dari pencapaianku selama ini.

Aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Bahkan bisa dibilang kami adalah keluarga yang kekurangan. Bapak adalah seorang buruh pabrik benang, yang gajinya hanya cukup untuk makan bapak, ibu, mbak, dan aku ketika aku masih belum kuliah dulu. Mbak memang seorang pegawai negri yang kerja di dinas pedesaan, di desa kami. Dan setiap bulan mendapat gajian yang alhamdulilah sedikit – sedikit bisa membantu biaya SMA ku, sebelum kejadian tragis menimpa keluarga kecil mbak Yanti. Yah…Risya anak perempuan mbak ku satu – satunya yang baru berusia 9 tahun, harus mengalami derita yang mungkin untuk dibayangkan saja aku tidak sanggup. Risya harus menahan sakitnya cuci darah di atas kasur rumah sakit yang menakutkan menurutnya. Bahkan derita Risya harus berlanjut, ayah yang selalu diharapkannya ada untuk sekedar memeluk dan menciumnya ketika dia kesakitanpun harus lebih dulu meninggalkannya karena radang ginjal yang diderita mas Priyo, suami mbak Yanti. Ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang pagi, siang, dan malamnya di kelilingi dengan pekerjaan rumah tangga dan memang hanya itu yang bisa dilakukan ibu. Namun yang selalu ku ingat dan selalu menjadi teladan untukku adalah keteguhan hati dan keikhlasan ibu menerima satu persatu ujian yang Allah berikan untuk keluarga kami. “semakin berat ujian yang diberikan Allah kepada umat-Nya, semakin akan ditinggikan derajat kaum itu”, itulah ibu yang selalu ikhlas menerima ujian hidup yang dirasa sangat berat ini.

Bulan Juli tiba, ajaran baru dimulai. Setelah aku lulus dari SMA, mungkin orang menilaiku egois dan tidak pernah memikirkan bagaimana susahnya orang tua. Tetapi, seandainya orang – orang itu tahu aku adalah satu – satunya anak lelaki di rumahku. Suatu saat aku yang harus menanggung beban keluarga. “Kenapa aku tidak boleh bermimpi menjadi seorang dokter?. Kelak aku akan buktikan kepada bapak dan ibu, kalau aku pernah membanggakan keluarga kita.”

“sudah nak, kamu nggak usah dengar kata orang. Bukan mereka yang memberi kita makan. Cukuplah hanya Allah saja yang memberi dan menolong kita.”, sungguh kata – kata ibu itu bagaikan sebongkah es yang mendinginkan hatiku yang panas saat itu. Bapak sudah hampir pensiun, gaji mbak sudah habis untuk biaya cuci darah Risya. Bahkan sawah satu – satunya hasil jerih payah kerja bapak selama ini habis terjual untuk membantu mbak mengobati Risya. Sampai akhirnya harapan Risya untuk bertemu sang ayah menuju sang penciptaNya, dikabulkan Allah.

Sore itu, angin sayup – sayup menemani ruang tamu kami yang penuh keheningan setelah hampir enam bulan keluarga kami kehilangan dua orang yang paling berharga bagi mbak Yanti. Dan enam bulan juga tepatnya aku sudah menganggur di rumah, dan belum tahu kelanjutan mimpiku yang aku tahu aku harus membantu bapak menjadi buruh di sawah milik tetangga kami. Kami duduk melingkar di ruang tamu, saling menatap kedalam hati. Mencoba merasakan hancurnya hati dan perasaan kami satu sama lain. Aku yakin, bapak, ibu, mbak, merasakan sesaknya hati dan ingin lari saja dari kehidupan ini. “pak Setyo tadi ke rumah menemui ibu, menawari ibu jadi TKW di Arab Saudi. Beliau miris melihat keadaan kita yang sepeti ini. Dilihatnya ibu yang cocok menerima pekerjaan ini”, sayup terdengar suara ibu menceritakan kejadian kala itu. Bapak kaget, “kenapa harus ibu? Kenapa bukan Yanti atau Yanto saja yang masih muda? Atau mungkin aku saja?”, tolak bapak. “aku sudah memikirkannya matang – matang pak. Ini jalan terbaik untuk keluarga kita. Bapak tahu sendiri, Yanti baru saja kehilangan suami dan anaknya. Bapak juga sudah tua, sering sakit – sakitan. Dan Yanto, adalah harapan satu – satunya keluarga kita pak. Izinkan dia kuliah, mewujudkan mimpinya jadi dokter. Biarkan ibu saja yang ke Arab, insyaAllah uangnya cukup untuk makan kalian semua dan bisa untuk kuliah Yanto pak..”, jelas ibu kepada kami semua di ruangan itu. Kami semua diam sejenak, membayangkan bagaimana ibu di Negara orang sana. Dan aku adalah anak paling durhaka seandainya nanti aku tidak sanggup membuat ibu bangga karena aku satu – satunya harapan ibu saat ini. Berminggu – minggu kami memikirkan ini semua. Sampai akhirnya pak Setyo datang lagi ke rumah menemui kami semua untuk membicarakan hal itu. “keputusannya jadi bagaimana? Kalau mau, nanti saya yang mengurus semuanya. Saya tahu ini berat, tapi mungkin ini jalan dari yang Maha Kuasa untuk kelangsungan keluarga ini. Kalau urusan biayanya biar nanti saya dulu yang nanggung, kalau sudah dapat bayaran kan bisa dikirim. Bagaimana? Kalau jadi, minggu ini sudah dibawa ke penampungan untuk dilatih.”, terang pak Setyo. “terimakasih sebelumnya pak, saya dan keluarga sudah memutuskan untuk mau kerja di Arab Saudi sampai Yanto nanti lulus kuliah.”, ibu berkata penuh percaya diri dan penuh keikhlasan, itu yang bisa aku tangkap dari mata ibu.

Sepuluh bulan sudah ibu meninggalkan keluarga kami, alhamdulilah ibu sudah bisa beli handphone untuk menghubungi kami di kampung. “jangan lupa terus belajar nak, semua yang terbaik untukmu dan mimpi – mimpimu.”, setetes air mata mungkin dibiarkan ibu menetes kala itu. Aku pun tak kuasa menahan perihnya hati saat itu. Itu adalah kali pertama ibu menghubungi kami di kampung, dan untungnya saat itu aku baru pulang dari kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Benar, Allah mengabulkan doa – doa dan harapan kami semua. Aku ditrima di Unair setelah menyisihkan 1920 orang lebih bersama ke dua puluh orang lain dalam seleksi nasional bulan juli lalu. Dan aku juga mendapat beasiswa bidik misi, ini untuk mahasiswa berprestasi yang kondisi keuangannya di bawah rata – rata. “Alhamdulilah ibu tidak perlu lagi meembayar uang gedung dan SPP ku. Yang penting IP ku harus naik setiap semesternya. Ibu hanya membayar uang praktikum saja, biar untuk makan dan hidup aku cari sendiri bu. Saya juga punya usaha jual ikan asin lho di Surabaya. Diajak teman, uangnya saya pakai untuk makan dan kost.”, itu seberkas kalimat yang aku sampaikan ke ibu untuk menenangkan hatinya yang gelisah.”

“alhamdulilah kalau begitu, ibu juga sudah rindu pelukan bapak, mbak, dan dirimu nak. Doakan ibu selalu diberi kesehatan, agar selalu kuat mendoakanmu . salam sayang dan rindu untuk semuanya nak. Assalamualaikum.”, seraya menutup teleponnya.

Sudah tahun kelima ibu tidak pulang kampung, dan tahun ini juga aku resmi menyelesaikan study ku menjadi dokter umum. Bapak sudah sering sakit – sakitan, mungkin sudah rindu ibu. “sebentar lagi pesawat ibu landing pak, kita tunggu sama – sama ya?”, begitulah penjelasanku kepada bapak dan mbak yang berada bersamaku di bandara Juanda Surabaya untuk menjemput orang yang kami tunggu kedatangannya dari tadi pagi. Sesosok perempuan paruh baya yang mulai terlihat renta dan lelah, dilindungi jilbab putih yang dibiarkannya hinggap di atas kepalanya. Menyeret koper barang di tangan kanan dan kirinya, memakai gamis cokelat tua yang tidak padu dengan jilbabnya tiba – tiba mengayun – ayunkan tangan lemahnya ke arah kami. “Alhamdulillah ibu pulang dengan selamat.”, sembari kami bertiga memeluk erat wanita yang membuat aku dan mbak Yanti ada di dunia ini. “aku kangen bapak, yanti, dan yanto.”,itu kata pertama ibu.

Ibu pulang untuk menemaniku menerima ijazah dari Unair. Menemani awal kesuksesanku, dan akhir dari perjuangan ibu selama ini.

Tanggal 29 juli 2004 tepatnya aku resmi diwisuda setelah menempuh lima tahun pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran terkenal di Indonesia itu.

(belum sampai ibu melihatku menjadi dokter spesialis paru, ibu sudah meninggalkan kami selama – lamanya karena penyakit paru – paru ibu yang mulai meradang setelah pulang dari Arab Saudi.)


*ne eLyzt nulisx waktu nunggu mo kuliah.
bukan cerita nyata kok

1 komentar:

  1. subhanallah,,,,
    sungguh cerita yg mnhrukan lis,,,
    aq mpek ngis bcax,,,,

    BalasHapus